Labels

Ajaib (105) Akhir Zaman (12) Akuntansi (1) Alam (344) Aneh (896) Anime (19) Asal Usul (175) Cerita (73) Cewek (73) Cowok (37) Design (143) Download (7) Ekonomi (28) Fakta (2345) Fenomena (80) fotografi (74) Games (4) Geografi (53) Gila (92) GO Green (58) Hebat (669) Hewan (262) Ilusi (11) Indah (268) Indonesia (197) informasi (3209) Inspirasi (126) Kamus (2) Kecantikan (79) kesehatan (607) Langka (58) lifestyle (232) Love (3) Lucu (156) Makanan (115) Mantap (448) Menakjubkan (1400) Misteri (64) Mitos (39) Movie (1) Otomotif (59) Parfum (2) Puzzle (19) Rapture (2) Relationship (81) Renungan (27) Resensi (3) Resep (3) Science (190) Seni (93) Serba 10 (442) Sport (99) Teknologi (391) Tips (768) Travel (101) Trik (471) Unik (1072) Wallpapers (1)

Thursday, September 30, 2010

Insting, Hobi, Kegilaan Menuju Sukses

John Parra/WireImage
Bagi sebagian orang, khususnya penggemar musik, dia akan lebih dikenal sebagai pendiri Virgin Records.
Usianya kini 60, barangkali sudah melampaui puncak masa kreatif dan produktifnya (tapi soal ini, ya, siapa tahu?). Dia datang di Jakarta untuk berceramah, membagi pengalaman suksesnya sebagai...apa saja, saya kira, sebab begitu banyak bidang yang telah dia jelajahi sejak usia belasan tahun --wirausahawan yang mendirikan beraneka perusahaan, aktivis kemanusiaan, juga penantang dan pencetak sejumlah rekor dunia.
Tapi, bagi sebagian orang, khususnya penggemar musik, dia akan lebih dikenal sebagai pendiri Virgin Records.

Branson boleh dibilang pribadi yang eksentrik. Dan dia, seperti ditegaskannya dalam ceramah pada Senin lalu, selalu mengikuti insting serta melakukan apa yang memang dia sukai. Dia memulai bisnis pada usia 16, dengan menerbitkan majalah Student. Empat tahun kemudian dia sudah menjadi subyek acara dokumenter di televisi. Kerajaan bisnisnya, Virgin Group, dia mulai dari toko yang melayani impor piringan hitam --baru kemudian disusul dengan jaringan toko rekaman Virgin Megastore yang dimulai dari Oxford Street, London.

Di antara itulah Virgin Records, sebuah perusahaan rekaman, lahir. Di sini Branson berkongsi dengan Simon Draper dan Nik Powell. Waktu itu tahun 1972. Virgin Records mencoba peruntungan dengan mengontrak Mike Oldfield, session musician berusia 19 tahun yang hanya kebetulan sempat membantu sejumlah musisi yang lebih senior (misalnya Kevin Ayers, mantan basis dan vokalis Soft Machine, salah satu pioner Canterbury scene, serta kakaknya, Sally Oldfield).
Tahun 1992 dia harus melepas Virgin Records karena memerlukan dana untuk memperkuat keuangan Virgin Atlantic Airways, maskapai penerbangan miliknya.


Mike, kepada The Sunday Times dua tahun lalu, mengaku mengingat betul momen ketika dia hendak menandatangani kontrak itu. “Saya berada di dapur sebuah rumah besar di [desa] Shipton-on-Cherwell,” katanya.
Rumah itu milik Branson.

Yang membuat Mike memperoleh kepercayaan, mula-mula, ya, karya. Dia punya demo, komposisi musik yang dia rekam tapi belum sepenuhnya jadi, yang sebelumnya ditolak di sana-sini dengan alasan tak bakal bisa dijual. Demo ini memang mudah menimbulkan keraguan orang yang diminta memodali. Berupa instrumental, musik yang digarap sendiri oleh Mike ini --dengan cara overdubbing berbagai instrumen --berdurasi total 18 menit. Tanpa lirik. (Ketika ada yang meminta Mike menuliskan lirik, dia menenggak sebotol wiski dan meminta engineer membawanya ke studio, lalu dia berteriak sekencang-kencangnya selama sepuluh menit.) Tapi Tom Newman, seorang sound engineer yang membawa demo ini kepada Draper, menggambarkannya sebagai “hiper-romantis, sedih, puitis, dan brilian”.

Direkam pada akhir 1972, musik dalam demo itu seolah dibetot hingga melar, dengan proses yang lama: hasil akhirnya berupa dua bagian (movement dalam musik klasik) yang total berdurasi 48 menit. Dirilis pada Mei 1973 dengan judul Tubular Bells, disadari atau tidak, inilah album yang meletakkan dasar bagi apa yang di kemudian hari disebut musik new age. Lebih dari itu, Mike, secara tak langsung, sebenarnya sekaligus menahbiskan keberadaan Virgin Records sebagai label yang berfokus pada musik-musik progresif (walau lalu berubah dengan dikontraknya Sex Pistols, pioner punk rock di Inggris, pada 1977).

Dari sisi lain, secara tak langsung penerbitan album itu sebenarnya merayakan pula pertemuan antara kegilaan Mike dan keyakinan Branson pada instingnya. Dan keyakinan inilah faktor lain yang menjadi dasar bagi kepercayaan kepada Mike --keyakinan yang bahkan berlanjut ketika akhirnya Mike harus menyajikan karyanya dalam satu konser; Branson rela memberikan Bentley hadiah perkawinannya kepada Mike demi menyalakan semangat Mike untuk tampil di panggung.

Di Inggris, tak lama setelah dirilis, penjualan album itu terus bergerak naik: pada pertengahan Juli ia mendarat di urutan ke-23 dalam daftar album terlaris, lalu pada Agustus ia sudah di urutan teratas.
Bertahan di daftar selama 279 pekan, Tubular Bells akhirnya terjual hingga tiga juta kopi di Inggris (dan 15 juta kopi di seluruh dunia).
Penggunaannya dalam soundtrack film The Exorcist garapan William Friedkin di tahun yang sama ikut melambungkan popularitasnya.

Branson mungkin tak bisa sepenuhnya menjalankan bisnisnya dengan mulus; dia toh, di tahun 1992, pada akhirnya harus melepas Virgin Records karena memerlukan dana untuk memperkuat keuangan Virgin Atlantic Airways, maskapai penerbangan miliknya. Begitu pula Mike, yang popularitasnya tak serta-merta menggaransi album-albumnya yang lain dengan sukses serupa. Tapi mereka berdua, disadari atau tidak, telah memperlihatkan teladan berharga dalam bisnis seni --khususnya
musik: mereka tak peduli pada apa yang sedang laku di pasar.

Andai kita juga punya banyak pemilik uang dan musisi dengan insting, minat, dan kegilaan seperti mereka. (Yahoo)

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails

Entri Populer