1. Jakarta
 Jakarta tempo dulu
Jakarta  bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500  tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang  menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Pengetahuan awal  mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang  ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta  sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan  sangat sedikit. 
Laporan  para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa,  yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama  Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman,  dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan  besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini  kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari  sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama  Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang  kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. 
 Tugu Monas
Belanda  datang ke Jayakarta pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasainya.  Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Semangat nasionalisme Indonesia  di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.Sebuah  keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah  Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu,  berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa  pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi  Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi  Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk  pertama kalinya dikibarkan. 
 2. SURABAYA
 Surabaya tempo dulu
Surabaya  secara resmi berdiri pada tahun 1293. Tanggal peristiwa yang diambil  adalah kemenangan Raden Wijaya, Raja pertama Mojopahit melawan pasukan  Cina.Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama.  Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu  yang berlayar menuju pelosok Surabaya.
Bukti  sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman  kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I berangka 1358  M. Dalam prasasti tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih  berupa desa ditepian sungai Berantas sebagai salah satu tempat  penyeberangan penting sepanjang sungai tersebut.
Surabaya  (Churabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang  ditulis oleh Mpu Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk  pada tahun 1385 M dalam pupuh XVII. Walaupun bukti tertulis tertua  mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M  Prasasti Trowulan) dan  1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada  sebelum tahun-tahun tersebut.
Menurut  hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja  Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil  menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain  mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.
Versi  lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang  perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon  setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah  Keraton di Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono 
Kata  “ SURABAYA “ juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang  perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu dari  kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan  Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya  muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya)
Agar   tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamdya  Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno,  mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi  kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293  sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan  atas kesepakatan sekelompok sejarahwan yang dibentuk oleh Pemerintah  Kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata “Sura ing Bhaya” yang berarti  “ Keberanian menghadapi bahaya “ diambil dari babak dikalahkannya  pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31  Mei 1293.
 Jembatan Suramadu
Masih  banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya. Semuanya  mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang kota  Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPDRS kota besar  Surabaya yang keputusan No. 34/DPRS tanggal 19 Juni 1955 diperkuat  dengan Keputusan Presiden R.I No. 193 tahun 1955 tanggal 14 Desember  1956.
3.Bandung
 Bandung tempo dulu
Mengenai  asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian  mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata  "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding  (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain  dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka  (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa  kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
Pendapat  lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas.  Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng  berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan  menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi  Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal  dari kata bendung.
Sebelum  Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar  Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung  berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan  ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan  Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten  diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung,  dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur  merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah  Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah  Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan  banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar  Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan  Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama  kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di  Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang  sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian  disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
 Gedung Sate
Di  penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa di Bandung jumlahnya  sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang  dapat mengurus kepentingan mereka
Dalam  hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA  Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial  tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, Ketetapan  itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan,  terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente  Bandung
Dipimpin  oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad),  tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester (walikota).
4. Medan 
 Medan tempo dulu
Pada  zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan  tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai  melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka.  Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai,  Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
Pada  mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya  terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu  merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan  lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga  akhirnya kurang popular.
Lokasi  asli Kampung Medan adalah sebuah tempat di mana Sungai Deli bertemu  dengan Sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber  literatur mengenai asal-usul kata “Medan” itu sendiri.
a. Dari catatan penulis-penulis Portugis yang berasal dari awal abad ke-16, disebutkan bahwa Medan berasal dari nama “Medin”,
b.  sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa disebutkannya kata “Medan”  karena kota ini merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku  sehingga disebut sebagai medan pertemuan.
c.  bahasa Arab mengatakan ketika para saudagar arab yang kebetulan melihat  tanah medan sekarang mereka mengatakan Median yang berarti datar atau  rata, dan memang pada kenyataannya medan memiliki kontur tanah yang rata  mulai pantai belawan sampai ke daerah pancur batu. dan bila dilihat  dari ketinggian maka terlihat medan seperti hamparan tanah yang datar
d.  Medan bahasa batak Karo “medan berarti sehat” .Namun demikian, ada  baiknya kita kembalikan pengertian istilah Medan itu sendiri pada tempat  yang semestinya. Bila kita menilik dari sumber-sumber sejarah bahwa  kota Medan pertama sekali didiami oleh suku Batak, dalam hal ini Batak  Karo, tentunya kata “Medan” itu haruslah berasal dari bahasa Batak  Karo.Dalam salah satu Kamus Batak Karo-Indonesia yang ditulis oleh  Darwin Prinst SH tahun 2002, bahwa Kata “Medan” berarti “menjadi sehat”  ataupun “lebih baik”. Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan bahwa  Guru Patimpus benar adanya adalah seorang tabib yang  
dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Batak Karo pada masanya.
Medan  pertama kali ditempati oleh orang-orang Suku Batak Karo. Hanya setelah  penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah  Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan  Aceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan  ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan  Medan. Di masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit  (memerintah dari 1669-1698), terjadi sebuah perang kavaleri di Medan.  Sejak saat itu, Medan menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli.
Perkembangan  Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat  pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari  Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur  dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang  semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya  pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian  Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
 Istana Maimoon
Pada  tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi  Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota  Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan “Acte van  Schenking” (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal  30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada  Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan  langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih  terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas,  Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
5.Makasar
 Makasar tempo dulu
Awal  Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan  niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber  Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah  Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad  XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama  Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan  menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin  intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan  pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara  sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan  istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan  benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi  wilayah inti Kota Makassar. 
Pada  masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di  bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan  Gowa, Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun  selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa  pada awal keruntuhan. 
Hubungan  Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur  Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau  Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan  September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I-MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan MANGKUBUMI I- MALLINGKAANG DAENG.
MANYONRI KARAENG KATANGKA yang  juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam  di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9 Nopember 1607, tepatnya hari  Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan  dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama  Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid  Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati  sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari  jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.
Ambisi  para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memper-luas wilayah  kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda  VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah  dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate,  Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh  kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat  merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.
 Pantai Losari
Pada  awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen  di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial  Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah  pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang  pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya  berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu  meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua  penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, 
Sumber  :  bahasa.makassarkota.go.id,surabayacity.wordpress.com,  hbis.wordpress.com, bandung.blogspot.com, Wipedia.com