Labels

Ajaib (105) Akhir Zaman (12) Akuntansi (1) Alam (344) Aneh (896) Anime (19) Asal Usul (175) Cerita (73) Cewek (73) Cowok (37) Design (143) Download (7) Ekonomi (28) Fakta (2345) Fenomena (80) fotografi (74) Games (4) Geografi (53) Gila (92) GO Green (58) Hebat (669) Hewan (262) Ilusi (11) Indah (268) Indonesia (197) informasi (3209) Inspirasi (126) Kamus (2) Kecantikan (79) kesehatan (607) Langka (58) lifestyle (232) Love (3) Lucu (156) Makanan (115) Mantap (448) Menakjubkan (1400) Misteri (64) Mitos (39) Movie (1) Otomotif (59) Parfum (2) Puzzle (19) Rapture (2) Relationship (81) Renungan (27) Resensi (3) Resep (3) Science (190) Seni (93) Serba 10 (442) Sport (99) Teknologi (391) Tips (768) Travel (101) Trik (471) Unik (1072) Wallpapers (1)

Saturday, February 19, 2011

Film Hollywood Ditarik dari Bioskop Indonesia..


JAKARTA (BatamPos) – Masyarakat yang gemar nonton film di bioskop, bersiaplah untuk kecewa. Apalagi bagi mereka yang hobi menonton film-film terbaru luar negeri. Sebab mulai kemarin, seluruh film-film asing ditarik peredarannya dari bioskop di tanah air. Bioskop yang dimaksud adalah seluruh bioskop baik jaringan 21, XXI, maupun Blitz Megaplex.

Penarikan film asing ini merupakan keputusan dari Motion Picture Associated (MPA), sebuah asosiasi perdagangan nirlaba Amerika Serikat yang bertujuan memajukan kepentingan bisnis studio film di negara tersebut.

Penyebabnya adalah ada ketidakselarasan antara pihak MPA dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai masalah masalah bea masuk atas hak distribusi film impor.

Menurut juru bicara 21 Cineplex Noorca M. Massardi, masalah ini terjadi karena terdapat aturan dan penafsiran baru Direktorat Jenderal Bea Cukai atas peraturan tentang pajak bea masuk yang diberlakukan per Januari 2011. Peraturan tersebut yakni bea masuk atas hak distribusi. Pihak MPA berpendapat kalau peraturan tersebut tidak lazim.

Sementara selama ini, setiap kopi film impor yang masuk ke Indonesia sudah dikenakan atau dibayarkan bea masuk, pajak penghasilan (PPh), dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 23,75 persen dari nilai barang. Negara juga menerima pembayaran pajak penghasilan (PPh) sebesar 15 persen dari hasil eksploitasi setiap film impor yang diedarkan di Indonesia. Belum lagi pajak tontonan yang diterima oleh pemerintah daerah dalam kisaran 10-15 persen untuk setiap judul film impor yang ditayangkan di bioskop sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pihak MPA pun mengajukan keberatan atas peraturan tersebut. Menurut mereka ketentuan itu tidak lazim diperlakukan. Sebab film bioskop bukan barang dagangan sebagaimana produk garmen atau otomotif. Film merupakan karya cipta yang tidak bisa diperjualbelikan melainkan pemberian hak eksploitasi atas hak cipta yang diberikan oleh pemilik film terhadap distributor atau bioskop.

Namun keberatan tersebut tidak ditanggapi. Akhirnya MPA memutuskan selama ketentuan bea masuk atas hak distribusi film impor itu diberlakukan, seluruh film Amerika serikat tidak akan disitribusikan di seluruh wilayah Indonesia sejak Kamis (17/2). Film-film impor yang baru dan sudah membayar bea masuk sesuai ketentuan tidak akan ditayangkan. Beberapa contoh judul antara lain Black Swan, True Grit, dan 127 Hours.

Noorca selaku juru bicara mengucap keprihatinannya atas kejadian ini.

“Kami prihatin. Kami hanya bisa berdoa dan berharap semoga produser film AS, Tiongkok, maupun India supaya memasok film-filmnya lagi ke Indonesia,” ucapnya saat dihubungi Jawa Pos (grup Batam Pos) malam tadi. Selaku pengusaha pihaknya memang tidak bisa menyalahkan pihak MPA maupun Direktorat Jenderal Bea Cukai. Apa yang sudah diputuskan merupakan wewenang masing-masing.

Namun pihaknya tetap mengharapkan agar pemerintah merespon dan mengkondisikan keberatan dari MPA. “Memang kami berharap apapun nanti responnya bisa baik. Kemungkinan terburuk bisa dicegah. Pokoknya semoga kondisi ini segera diselesaikan,” lanjutnya.

Terpisah Kenaikan pajak dan bea masuk bagi film impor merupakan salah satu paket kebijakan perpajakan yang dirilis awal Januari lalu untuk melindungi industri nasional.

“Ini untuk menyetarakan perlakuan (film impor dan film dalam negeri),” kata Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Sjarifuddin Alsjah.

Kebijakan tersebut berupa pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kesetaraan perlakuan film impor dan produksi nasional. Selama ini, tarif royalti film produksi dalam negeri sebesar 15 persen. Sedangkan film impor hanya dikenai bea masuk USD 0,43 (sekitar Rp 4.000) per meter rol film. Melalui SE-03/PJ/2011 tentang PPh atas penghasilan berupa royalti dan perlakuan PPN atas pemasukan film impor, beban tarifnya kini menjadi setara dengan pajak royalti film nasional.

Penerbitan kebijakan itu bermula dari keluhan sutradara terkenal Hanung Bramantyo tentang lebih murahnya pajak mendatangkan film impor dibanding membuat film nasional. Keluhan Hanung pada akhir tahun lalu itu, lantas direspons oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada rapat kabinet di November tahun lalu. Presiden memerintahkan menteri keuangan meninjau ulang ketidaksetaraan aturan pajak dan bea masuk itu. (sof/jan/jpnn)

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails

Entri Populer