Labels

Ajaib (105) Akhir Zaman (12) Akuntansi (1) Alam (344) Aneh (896) Anime (19) Asal Usul (175) Cerita (73) Cewek (73) Cowok (37) Design (143) Download (7) Ekonomi (28) Fakta (2345) Fenomena (80) fotografi (74) Games (4) Geografi (53) Gila (92) GO Green (58) Hebat (669) Hewan (262) Ilusi (11) Indah (268) Indonesia (197) informasi (3209) Inspirasi (126) Kamus (2) Kecantikan (79) kesehatan (607) Langka (58) lifestyle (232) Love (3) Lucu (156) Makanan (115) Mantap (448) Menakjubkan (1400) Misteri (64) Mitos (39) Movie (1) Otomotif (59) Parfum (2) Puzzle (19) Rapture (2) Relationship (81) Renungan (27) Resensi (3) Resep (3) Science (190) Seni (93) Serba 10 (442) Sport (99) Teknologi (391) Tips (768) Travel (101) Trik (471) Unik (1072) Wallpapers (1)

Saturday, May 21, 2011

Memburu Salju Musim Gugur (2)

Oleh Sigit Adinugroho

Untuk membaca bagian pertama, silakan klik di sini
.

Saya beruntung menginap di dekat stasiun kereta api utama di Stockholm, sehingga bisa mencapainya hanya kurang dari 30 menit berjalan kaki. Ketika sampai di sana, saya sempat terperangah karena stasiun ini begitu ramai (hari itu memang hari kerja, sehingga banyak warga Stockholm yang baru pulang kantor).

Begitu memasuki kabin kereta dengan penghangat udara, saya langsung bersyukur sebab di luar sana suhu dingin amat menusuk kulit.


Suasana stasiun kereta api Stockholm.

Masih ada waktu satu jam sebelum kereta berangkat. Saya pun menggunakannya untuk istirahat. Meski sempit, tempat tidur susun (berth) yang cukup nyaman membuat saya terlelap begitu cepat sampai akhirnya terbangun karena ada penumpang lain yang masuk ke kompartemen berkapasitas enam orang itu.

Kereta pun bertolak. Sayup-sayup terdengar suara kondektur meniup peluit dan pengumuman kereta diberangkatkan. Lampu kota dan jalanan yang sepi pun melepas keberangkatan kami waktu itu. Ketika kilatan lampu kian redup, yang berarti gerbong mulai meninggalkan kehidupan kota, saya pun tertidur pulas bertemankan irama benturan roda dan rel yang teratur.

Kereta api SJ Nattåg (kereta malam) yang saya tumpangi ini adalah kereta reguler. Selain kereta ini, ada pula beberapa kereta ekspres (bernama X2000), yang hanya melayani jalur-jalur tertentu seperti Stockholm-Malmo dan Stockholm-Goteborg dan waktu tertentu terutama siang hari.


Interior gerbong tidur di kereta malam menuju Östersund.

Sepanjang perjalanan, beberapa kali saya terbangun. Kalau tidak karena kereta yang berhenti di sebuah stasiun, pasti karena gerak atau suara penumpang lain di kompartemen saya — misalnya ketika seorang lelaki berbahasa Arab sedang bercakap-cakap di telepon.

(Saya jadi ingat tentang banyaknya imigran dari Timur Tengah di negara-negara Skandinavia. Di Swedia, misalnya, banyak pengungsi Irak bermukim di Södertälje, sebuah kota di barat daya Stockholm. Standar hidup dan stabilitas politik yang relatif baik menjadikan negara Skandinavia sebagai tujuan utama para pencari suaka).

Malam itu kereta api melaju ke barat laut. Daerah ini tidak terlalu padat, karena kebanyakan masyarakat Swedia bermukim di sebelah selatan. Perjalanan kereta ini akan berakhir di Åre, kota resor ski di perbatasan Swedia-Norwegia, namun saya akan berhenti di Östersund — sebuah kota yang jadi salah satu tujuan utama penduduk Swedia ketika musim dingin untuk olahraga atau rekreasi seperti ski, sledding & snowmobiling.

Pukul tujuh pagi saya sampai di Östersund, saat matahari baru terbit (memasuki musim dingin, siang hari lebih pendek dari malam). Saya melihat peta dan berjalan kaki menuju Nya Pensionatet, sebuah hotel sederhana yang sebenarnya merupakan sebuah unit apartemen dengan lima kamar.

Dengan harga 400 krona (sekitar Rp 520 ribu) per malam, hotel ini punya fasilitas menyenangkan: sarapan, tempat tidur ternyaman selama perjalanan ini, kopi dan teh gratis 24 jam, serta mesin cuci bebas pakai (termasuk deterjen).

Balai kota Östersund.

Saya suka kota kecil ini. Setelah beberapa hari singgah di kota besar, rasanya baru kali ini dapat istirahat dari keriuhan kota besar. Tak ada kereta listrik bawah tanah, tak ada lalu lintas kendaraan roda empat atau roda dua yang hiruk pikuk. Banyak tempat berjalan kaki, banyak waktu menikmati danau Storsjön, salah satu danau terluas di Swedia.

Sayang, musim panas sudah berlalu, karena ternyata kapal uap mungil S/S Thomée penelusur danau itu hanya beroperasi dari bulan Juni sampai September setiap tahunnya. Telat!

Sebenarnya, di sepanjang perbatasan Swedia-Norwegia terdapat banyak sekali kota resor musim dingin yang terletak lebih tinggi Östersund, sebut saja Åre di sebelah barat atau Riksgränsen di utara. Tapi Östersund jadi pilihan ideal terutama untuk keluarga karena infrastrukturnya — akses, hotel, tempat makan dan berbelanja.

Kegiatan liburan yang ditawarkan pun lebih banyak dari sekadar olahraga ski. Östersund memiliki nilai sejarah dan budaya yang cukup tinggi. Suatu waktu, provinsi Jamtland pernah dikuasai oleh Norwegia, lalu diperebutkan oleh perserikatan Denmark-Norwegia, sebelum pada akhirnya jatuh ke tangan Swedia.

Secara religius, ternyata masyarakat Jamtland lebih memilih untuk bergabung dengan Swedia. Walau pernah menjadi saksi perebutan kekuasaan, Östersund dan Jamtland ternyata juga menjadi pemersatu antara Norwegia dan Swedia. Dibangunnya rel kereta api menuju Östersund dari sisi Norwegia (Trondheim) maupun Swedia (Sundsvall, lalu ke Stockholm) merupakan infrastruktur penting bagi kelancaran perdagangan dan persahabatan antara penduduk Norwegia dan Swedia. Seketika, Östersund menjadi tempat yang strategis untuk singgah.

Lalu, ada kisah masyarakat Saami, yang semi-nomaden, yang bermukim di utara Jamtland. Keberadaan masyarakat Saami sangat dihargai pemerintah Swedia, Norwegia, Finlandia dan Rusia. Karena budaya, bahasa dan cara hidup masyarakat ini terancam punah oleh modernisasi, pemerintah kota pun Östersund membangun sebuah museum agar generasi muda Swedia dapat menghargai keberadaan masyarakat Saami. Museum ini bernama Museum Jamtli.


Jembatan di distrik Frösön.

Saya menghabiskan waktu satu hari di kota mungil ini dengan berkeliling dengan bis yang berakhir ke sebuah gereja di seberang danau, lalu berjalan kaki 6 km sampai ke pusat kota lagi menyisiri danau, melewati perumahan penduduk yang sepi ditemani pohon-pohon tinggi dan rindang, sambil menikmati udara sejuk. Dua jam untuk diri sendiri bersama alam.

Hari semakin gelap. Setelah puas mengelilingi distrik Frösön hingga menyeberangi jembatan panjang untuk kembali ke kota, saya mampir ke kedai terdekat. Di sana saya memesan goulash — favorit para penduduk untuk menghangatkan badan dengan sajian penuh lemak.

Isinya pun sangat menggiurkan: gilingan daging sapi, irisan bawang merah, sayuran, bumbu-bumbu dan taburan serbuk paprika direbus bersama di atas panci dan diaduk menjadi satu. Warnanya yang kemerahan dengan asap yang mengepul membuat siapa saja menjadi berselera. Koin sejumlah 59 krona (sekitar Rp 80 ribu) menjadi penebus rasa lapar ini!


Malam itu juga saya harus berangkat meninggalkan Östersund untuk mengejar tujuan utama saya: melintasi garis Lingkar Arktik (Arctic Circle). Ini sebuah garis semu di atas permukaan bumi yang menandakan batas antara daerah Arktik dan subtropis.

Saya mempersiapkan ransel dan isinya dengan diawali kepanikan: tas ransel yang saya titipkan seharian di resepsionis hotel masih terkunci di ruang penyimpanan barang. Dua puluh menit sebelum kereta berangkat, akhirnya saya mendapatkan ransel itu dan langsung berangkat ke stasiun kereta api.

Saya berangkat dari stasiun kereta api Östersund yang mungil itu sekitar pukul 21.00, menumpang kereta jarak dekat menuju kota Bräcke di tenggara. Perjalanan ini memakan waktu satu jam. Tiba di Bräcke, saya menunggu satu jam lebih untuk rangkaian gerbong yang akan membawa saya ke Narvik, Norwegia. Suhu malam hari itu mendekati 0°C dan tak berangin.



Kereta api datang tepat pada waktunya sekitar pukul 23.00. Gerbong dan tempat tidurnya mirip dengan kereta yang saya tumpangi dari Stockholm ke Östersund. Setelah memasang seprai dan meletakkan bantal, saya lalu merebahkan diri.

Perjalanan ini membelah sisi timur laut Swedia sebelum berbelok ke arah barat di Boden, lalu berlanjut ke Gällivare, menembus perbatasan melalui Riksgränsen. Setengah perjalanan ini akan dilalui pada malam hari sampai matahari terbit.

Pemandangan antara Boden dan Narvik adalah salah satu pemandangan kereta api terindah yang pernah saya lihat. Ke mana pun mata memandang, semuanya serba putih tertutup salju. Saya senang, inilah pertama kali saya melihat salju.

Kontur lanskap cenderung datar dengan sedikit bukit di sana-sini berselimutkan salju. Sinar matahari yang masih jingga berpadu dengan langit yang sungguh biru jernih. Sesekali, kereta melewati sungai yang membeku. Kami juga melintasi Lingkar Arktik di pertengahan jalan antara Boden dan Gällivare. Tanpa penanda apa pun, kejadian itu berlangsung cepat. Tiba-tiba saya mampir ke pekarangan Kutub Utara!



Di dalam gerbong, penumpang lain sudah mulai bangun dari tidurnya dan bergegas ke kereta makan untuk membeli makanan dan minumannya sendiri. Paket sarapan senilai hampir Rp 100 ribu berisikan roti isi dan secangkir kopi, teh, atau susu.

(Tidak ada nasi goreng atau “zuppa soup” ala kereta api Parahyangan di sini).

Kereta berhenti di hampir setiap stasiun, walau hanya sepuluh menit. Di satu stasiun, terdengar suara para anggota keluarga yang berpelukan dan melepas rindu, di tengah hamparan salju tebal yang menutupi peron.

Di stasiun lain, terlihat petugas membersihkan tumpukan salju yang sangat tebal. Ada juga yang tampak membawa anjingnya berkeliling. Kebanyakan stasiun kereta api di sini tak punya pagar dan hanya berupa peron sederhana.

Guna menghindari penumpukan salju pada beberapa bagian, pemerintah membangun beberapa kanopi kayu berbentuk segitiga yang sayangnya, agak mengganggu kegiatan menikmati pemandangan.



Ketika kereta berhenti, saya menyempatkan membuka jendela untuk memotret, walau saya tahu di luar angin menerjang dan suhu di bawah nol. Semakin mendekati perbatasan Swedia-Norwegia, jumlah penumpang gerbong semakin berkurang. Rasanya mereka yang ikut sampai Narvik adalah warga negara Norwegia sendiri.

Ketika melalui perbatasan, masinis mengumumkan dan memberi ucapan selamat datang ke Norwegia.

Seketika, lanskap berubah drastis! Kontur datar di Swedia tiba-tiba berganti ekstrem: perbukitan dengan tebing curam, disambung dengan aliran air dari hulu dengan bebatuan yang berserak.

Pohon-pohon ramping yang tumbuh di tebing securam itu membuat saya ternganga. Pemandangan berubah menjadi fjord (semacam teluk yang tercipta dari lelehan gletser) bertabur salju, lalu berliuk-liuk, kemudian memberi jalan pada sekumpulan rumah mungil bercat warna-warni yang ada di tebing seberang.

Peralihan yang begitu drastis, namun magis dan penuh pesona. Lanskap Norwegia adalah karya Tuhan yang termasyhur. Komposisinya mencengangkan.

Satu jam kemudian, kota Narvik terlihat dari atas bukit di kejauhan. Terletak di pinggiran fjord, kota ini sangat cantik. Tak terbayang oleh saya, bagaimana kota ini sempat jadi saksi pertempuran antara koalisi Jerman-Austria yang hendak menduduki Norwegia yang dibantu Inggris.



Narvik, bagi saya, menjadi “negeri antah-berantah” tempat saya berlabuh untuk saat ini. Pukul satu siang, saya menjejakkan kaki pertama kali di atas salju kota ini. Suhu waktu itu masih 0-2 °C. Perjalanan 15 jam ini saya akhiri dengan rasa puas, namun penasaran.

Apakah saya masih bisa lebih ke arah utara lagi? Ah, saya biarkan saja rasa penasaran itu tersimpan untuk edisi perjalanan berikutnya. Bis yang membawa saya ke tujuan berikutnya melaju kencang melewati tatanan fjord yang spektakuler, menembus kabut dan sinar matahari di atas jalan yang berkelok tajam. Sempurna.

Saya merasa berkunjung sendiri ke negeri Santa Klaus untuk menjemput sebuah bingkisan. Lalu, memikirkan bagaimana cara membawanya pulang ke selatan melalui pesisir Norwegia. Barangkali inilah The Polar Express sesungguhnya!

Total biaya yang dikeluarkan


Stockholm - Östersund (7 jam): Sleeper train, 565 krona (sekitar Rp 750 ribu)
Östersund - Bräcke (1 jam): Seat, 63 krona (sekitar Rp 85 ribu)
Bräcke - Narvik (13 jam): Sleeper train, 529 krona (sekitar Rp 708 ribu)
(Di luar makanan dan minuman)

Tips: Semua tiket kereta api dapat dibeli online (dengan kartu kredit) melalui website Statens Järnvägar (SJ) di http://www.sj.se.

Bukti reservasi dicetak sendiri untuk ditukarkan dengan tiket sebenarnya di stasiun. Semua bahasa dalam tiket adalah bahasa Swedia, jadi pastikan Anda bertanya kepada petugas peron tentang gerbong dan kompartemen yang benar. Siapkan makanan sendiri supaya hemat. Pilihlah penginapan di dekat stasiun.

http://id.travel.yahoo.com/jalan-jalan/101-memburu-salju-musim-gugur-2
http://id.travel.yahoo.com/jalan-jalan/110-memburu-salju-musim-gugur-3?cid=today

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails

Entri Populer