Labels

Ajaib (105) Akhir Zaman (12) Akuntansi (1) Alam (344) Aneh (896) Anime (19) Asal Usul (175) Cerita (73) Cewek (73) Cowok (37) Design (143) Download (7) Ekonomi (28) Fakta (2345) Fenomena (80) fotografi (74) Games (4) Geografi (53) Gila (92) GO Green (58) Hebat (669) Hewan (262) Ilusi (11) Indah (268) Indonesia (197) informasi (3209) Inspirasi (126) Kamus (2) Kecantikan (79) kesehatan (607) Langka (58) lifestyle (232) Love (3) Lucu (156) Makanan (115) Mantap (448) Menakjubkan (1400) Misteri (64) Mitos (39) Movie (1) Otomotif (59) Parfum (2) Puzzle (19) Rapture (2) Relationship (81) Renungan (27) Resensi (3) Resep (3) Science (190) Seni (93) Serba 10 (442) Sport (99) Teknologi (391) Tips (768) Travel (101) Trik (471) Unik (1072) Wallpapers (1)

Tuesday, November 2, 2010

Jari Manis 60 Tahun (Cerpen)



Cerpen oleh: Eko Triono

Lelaki tua itu menatapmu dan mengira kau ini malaikat bagi kuda-kuda. Kalian lantas tertawa bersama. Seekor kuda terdengar meringkik di belakang bus.

Kau bertemu orang itu di bus kota yang liar menembusi riuh jalanan. Dia tersenyum selalu. Usia yang lebih dari enam puluh seolah lenyap bersama sesuatu yang mungkin menakjubkan, yang ia usahakan hari ini. Di luar jendela, Malioboro senatiasa sibuk. Kuda-kuda yang memamah biak setia pada kaki untuk berdiri. Kau berkata, seandainya ada tempat bagi kuda istirah ya? Kan kasihan mereka berdiri terus sepanjang hari, sepanjang musim, sepanjang tahun. Lelaki tua itu menatapmu dan mengira kau ini malaikat bagi kuda-kuda. Kalian lantas tertawa bersama. Seekor kuda terdengar meringkik di belakang bus.

Telah jauh melaju. Kau turun sudah. Tapi lelaki tua itu masih juga tersenyum menyimpan sesuatu yang mungkin mengharukan bagi dirinya sendiri, juga istrinya. Bungkusan kecil dalam plastik putih bertuliskan nama sebuah toko emas, lalu sejumlah batu baterai kamera.

“Kiri! Kiri!” dia kini turun. Hari hampir gelap. Mega menarik tirai langit hitam. Rimis menitikan rasa dingin di pucuk-pucuk daun dari segala jenis pohonan. Tapi dia masih juga tersenyum, berjalan menapaki gang yang mulai basah. Malahan, selunjur kenangan terjulai bersama dingin dan bebatuan yang terlihat di ujung gang.

Seandainya waktu itu bukan jaman tak karuan, sayang, katanya membatin. Pasti ini semua tak akan terlambat. Tidak akan ada rasa tersinggung setiap kali datang ke acara pernikahan. Pulang, lalu diam-diam kita saling menatap satu sama lain dengan sesuatu yang tak juga bisa dikatakan, mungkin sebenarnya ingin kita lupakan saja tapi tak bisa. Sejak tahun 1965 itu, sebenarnya, aku telah memikirkan semua ini, sayang. Tapi baru kali ini dapat kuwujudkan. Ketika gang-gang telah berubah. Jalan-jalan ditumbuhi seribu rumah. Dan, kita tak bisa lagi mengeja satu sama lain. Sepeda pertama kuboncengkan engkau, mungkin percaya bahwa hari ini akan terjadi. Ah, dia adalah kesaksian bagi kita yang renta dan setia pada usia, pada kehidupan, sayang.
*
Yang di rumah ada drama kecil yang belum dimulai. Tapi istrinya belum tau. Yang ia paham, ini hari adalah ulang tahun perkawinan mereka, entah yang keberapa. Anak-anak telah dia atas dua puluh lima tahun. Dia hanya tertegun. Berharap memang belum pikun. Sebuah buku kecil ia buka. Matanya sembab. Mungkin benar setiap manusia adalah sejarah bagi diri mereka sendiri, catatan, kartu-kartu, foto-foto, ah, aku masih mengingatnya. Saat kau pertama kali melamarku sedang jaman sedang geger. Tapi, katamu, cinta itu tak mengenal keadaan, yang dia tahu hanya rasa rindu dan sayang di setiap waktu. Betapa gombalnya dirimu itu. Tapi, aku tau ada kebahagiaan di antara matamu yang sendu.
“Bune…Bu…”

Dia tersentak. Pintu terbuka. Ia mengusap air mata yang hampir menjadi. Ia melipat buku pernikahan itu. Tapi gagal. Lelaki itu menahannya. Ia menatap mata itu. Mungkin ini adalah tatapan yang entah ke berapa sejak sejumlah tahun yang lelah ditandai. Tapi mereka paham satu hal, ini adalah ulang tahun perkawinan mereka. Tak ada gending memang. Hanya seorang penghulu dan saksi dari keluarga. Lalu melam yang mencekam. Tapi mereka saling melihat kesetiaan di hari ini. Lelaki itu mengecup kening istrinya yang terlah tercoret sejumlah garis usia, bibirnya yang kuyu melahirkan bertriliyun kalimat mulai dari cinta dan makian, tersendat. Mereka berpeluk.

Dua anaknya yang telah dewasa tak sengaja melihat mereka dari pintu yang masih terbuka. Mereka menangis, mereka tau sebuah alasan yang membuat mereka menangis, lebih dari sebelumnya. Alasan yang membuat lelaki itu pergi ke Malioboro dan menunjungi toko emas lalu membeli sejumlah baterai kamera. Setelah sebelumnya pergi juga ke sebuah salon di ujung gang.

Dap. Gelap. Mati lampu. Deru alat listrik bungkam. Denting hujan bertalu di atap kamar mandi. Lalu di beranda, seolah keroncong sunyi yang mengaduhkan rasa dingin sebab semua orang menjauhi mereka, takut basah. Kecuali pohon-pohon yang justru riang bermain hujan-hujanan. Ada angin menembusi celah-celah jendela. Lelaki di atas enam puluh tahun itu mengajak istrinya ke ruang depan. Pukul delapan telah lewat sedikit. Sebuah drama kecil telah dimulai. Rasakanlah, tangan lelaki itu gemetaran. Seandainya terang, kita pasti akan tau dia menahan sebuah tangis. Sebab, baru kali ini, selama berpuluh tahun, sejak tahun 1965 dia melakukan hal sederhana tapi teramat manis membuat seluruh tubuhnya bergetar.
*
Baru melangkah ke ruang depan, seketika, dalam gelap ia dengar gending Kebo Giro yang biasa ada di acara pernikahan. Istrinya terkejut. Tapi tak sempat ia memprotes. Diam-diam ia mulai curiga apa yang hendak terjadi. Lelaki itu bilang, ah, mungkin tetangga jauh sedang ada resepsi. Mereka terus melangkah dalam gelap dan cahaya-cahaya lampu jalan yang ikut mengintip kejutan apa di hari yang telah renta begitu. Lho kok tidak mati lampu? Mungkin anjlok, bu. Mbok cari lilin. Atau di itu, dihidupkan lagi. Ya, bentar, duduk sini dulu. Hih, Pak Ne apa-apa sih, ketahuan anak-anak kan malu.

Musik tiba-tiba makin keras. Jelas betul itu dari ruang tengah. Lalu dua orang anak yang mereka kenal samar-samar muncul dalam banyangan lilin dalam sebuah kue tart. Pakaian mereka laiknya pendamping pengantin. Istrinya terkejut. Anak-anak menyanyikan lagu selamat. Perempuan itu setengah ragu meniup lilin-lilin yang kini nampak serupa suluh salju yang gemetar di puncak sebuah bukit bernama kebahagiaan. Ia terisak. Ia memeluk suaminya. Menciumi kening putrinya yang paling besar. Tapi dimana yang laki-laki, tiba-tiba dia menghilang. Glak. Byar. Lampu menyala. Dan, betapa terkejutnya sang istri melihat dia dan suami ternyata duduk di kursi pernikahan yang biasanya digunakan oleh para mempelai.

Lelaki itu tersenyum. Gending menabuh rasa cinta yang pernah tertikam kelamnya perang. Ia mengeluarkan bungkusan itu. Membukanya pelan-pelan. Ke dua anak mereka menahan tangis dengan menggengam kamera dan sebuah handy cam. Mereka paham betul, betapa susahnya hidup di jaman itu. Tapi kini mereka melihat orang-orang renta yang kembali muda di bangku pernikahan sedang saling memandang.

Istrinya tak percaya. Tapi inilah yang terjadi. Lelaki itu memberikan cincin perkawinan untuk yang pertama kali di usia yang telah enam puluh tahun. Selama ini mereka tidak pernah memiliki. Pernikahan awal mereka tanpa cincin kawin. Mungkin sepele bagi sebagian orang, tapi itu adalah simbol bagi batin yang terikat dan rasa kasih yang manis seperti tangan yang disinggahinya. Mungkin bagi sebagian orang, cincin itu bisa dengan mudah dilepaskan di sebuah meja pada kamar hotel nomor sekian, lalu mereka terlepas dari sebuah beban akan pasangan yang dengan setia menyulam celananya yang sobek. Atau yang menunggu dengan teh hangat di meja makan hingga ketiduran.

Dan, hari ini adalah hari perayaan perkawinan mereka di usia yang telah renta. Perkawinan yang dirayakan hanya oleh mereka dan anak-anak mereka. Tentu, sebab orang-orang telah mengganggap kebahagiaan pernikahan itu dimasa yang masih berotot kuat. Seandainya tidak, pastilah kau dan orang-orang sekitar juga diundang. Untuk melihat bagaimana seorang tua untuk pertama kalinya, sebab dulu kondisi yang tidak mampu juga perang, memberikan cincin kawin, dan mengambil gambar-gambar perkawinan di ruang tamu, yang diambil oleh anak-anak mereka sendiri.
Di luar hujan menangis diam-diam. Dan kau, duduk di sebuah beranda melihat langit yang buram.

Yogyakarta, 2010

Biodata singkat penulis,

Eko Triono, Lahir di Cilacap, 11 Juni 1989. Belajar di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Menulis di sejumlah media masa. Antologi yang memuat cerpennya antar lain, Bukan Perempuan (Obsesi Press&Grafindo,2010), Rendezvous di Tepi Serayu (Obsesi press&Grafindo,2009).

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails

Entri Populer