JAKARTA, KOMPAS.com — Dari sisi politik, kondisi Amerika Serikat saat ini makin lama makin mirip dengan kondisi politik Indonesia semasa puncak kekuasaan Orde Baru.
Para pemegang modal membentuk oligarki bisnis yang mengatur arah kebijakan pemerintah. Pemerintah AS juga tak lagi mendengarkan suara rakyat dan menghadapi risiko besar menjadi negara yang tidak demokratis.
Pendapat tersebut disampaikan sejarawan dan peneliti hubungan internasional Bradley R Simpson dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs, Princeton University, AS, dalam seminar bertema ”Pengaruh Amerika Serikat terhadap Kebijakan Ekonomi dan Politik Orde Baru”. Seminar itu diselenggarakan Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) di Jakarta, Senin (17/1).
Menurut Simpson, saat ini sebagian besar rakyat AS sebenarnya menentang pemerintahnya, tetapi tidak punya kekuatan untuk memaksa pemerintah membuat berbagai perubahan. ”Pemerintah tidak merespons tekanan-tekanan demokratis (dari rakyat AS),” ungkap Simpson.
Menurut mantan aktivis politik ini, salah satu kebijakan Pemerintah AS yang ditentang rakyat tetapi masih terus dijalankan adalah perang di Afganistan. ”(Sekitar) 65 persen rakyat AS menentang perang di Afganistan, tetapi sampai sekarang perang itu masih berlangsung,” kata penulis buku Economist With Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations 1960-1968 (Stanford University Press, 2008) ini.
Tak demokratis
AS, yang dikenal sebagai kampiun demokrasi dunia, belakangan ini kadang memang bersikap tidak seperti negara demokratis. Sikap itu, antara lain, sangat mencolok saat AS merespons kebocoran 250.000 kawat diplomatik rahasia di situs WikiLeaks.
Pejabat Pemerintah AS menekan berbagai perusahaan untuk memotong kerja sama bisnis dengan WikiLeaks, melarang pegawai negerinya membaca ataupun sekadar berkomentar mengenai isi WikiLeaks, dan terakhir, memaksa pengelola situs jejaring sosial Twitter menyerahkan data pribadi para pengguna yang diduga terkait operasi WikiLeaks.
Dalam seminar tersebut, Simpson juga mengungkapkan, AS berperan besar dalam membentuk dan membesarkan rezim Orba di Indonesia sejak awal. Meski mengaku belum menemukan bukti nyata keterlibatan langsung AS dalam peristiwa G30S tahun 1965, yang membuka jalan bagi terbentuknya Orba, Simpson mengatakan, banyak pemikiran di kalangan elite politik AS saat itu yang sejalan dengan konsep para petinggi militer di Indonesia.
”Tentang Dwifungsi ABRI, misalnya, visi AS waktu itu serupa dengan pemikiran (Jenderal AH) Nasution. Di AS, itu dikenal sebagai konsep military modernization. Itu sebabnya AS mendorong (penerapan) Dwifungsi ABRI itu,” tuturnya.
Menurut Simpson, AS juga mendukung pembunuhan massal rakyat sipil dalam rangka penghancuran Partai Komunis Indonesia, yang terjadi setelah G30S.
No comments:
Post a Comment