“Mama ngga suka kamu bergaul dengan orang pribumi!” ucap nyokap gua ketika gua menghempaskan tubuh di sofa yang ada di ruang keluarga.
Gua hanya diam. Lagi dan lagi mama mempermasalahkan sesuatu yang menurut gua bukan sebuah masalah apa lagi sebuah malapetaka yang sangat berbahaya.
“Ma… Kenapa sih mama harus melihat dan menilai seseorang dari sukunya?” gua bertanya dengan penuh hati-hati sambil menatapnya.
“Pokoknya mama ngga suka. Titik!” Balasnya lalu meninggalkan gua sendiri.
Ah… Mama gua masih menyimpan dendam yang berbalut sebuah kemarahan.
Gua masih ingat kerusuhan mei 1998 yang merupakan kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada 13 Mei - 15 Mei 1998 dan juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998 Elang Mulya, Hafidin Royan, Hendriawan Sie danHery Hartanto, empat Mahasiswa Trisakti, Jakarta yang gugur dalam Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.
Banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan “Milik pribumi” atau “Pro-reformasi”. Hal yang memalukan ini mengingatkan seseorang kepada peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Waktu itu gua masih 10 tahun. Masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Gua tidak akan pernah lupa wajah koko, cici dan papa gua yang menjerit minta tolong. Dari balik jendela kamar gua melihat mereka dihabisi tanpa belas kasihan. Cici gua ditarik lalu ditelanjangi dan diperkosa secara bergilir! Sementara koko dan papa gua yang tak berdaya diikat didalam mobil yang kemudian dibakar. Ketiganya meninggal dunia dengan sadis ketika hendak masuk ke dalam rumah. Gua melihat wajah mama hanya menangis.
Toh, yang menjadi korban bukan hanya keturunan Tionghoa saja. Ada juga tuh toko, rumah atau mobil milik kaum pribumi yang dirusak, dijarah atau dibakar.
Satu hal yang pernah papa gua ajarkan ke gua adalah “jangan membalas kejahatan dengan kejahatan dan kasihi musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu serta berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu.”
Itu alasan kenapa setelah tamat SMP, gua memutuskan untuk masuk ke SMA Negeri. Meski awalnya, mama tidak setuju. Setiap kali gua dipanggil “si mata sipit” atau “si anak Cina”, gua hanya tersenyum. Lambat laun gua lebih banyak memiliki teman pribumi daripada keturunan Tionghoa. Berlanjut sampai saat ini dimana gua kuliah di salah satu Universitas swasta terkenal di bilangan Jakarta Barat.
Gua tahu kalau mama gua masih dendam dengan kaum pribumi. Tapi bagi gua ngga ada gunanya menyimpan dendam. Bukankah memelihara dendam karena orang lain menyakiti hati kita adalah seperti menelan racun sambil berharap orang lain yang akan mati. Bagi gua kerusuhan mei 1998 bukan masalah kaum pribumi membenci keturunan Tionghoa. Tapi individu-individu yang ‘kehilangan’ hati nuraninya. Bukan tugas gua untuk menghakimi mereka. Kalau pun pemerintah tidak atau belum mengambil tindakan apa-apa kepada para provokator alias biang kerusuhan tersebut, ada Yang Maha Kuasa yang akan menghakimi dan menghukum mereka kelak.
Hari ini gua bersama beberapa beberapa teman gua berkumpul di rumah salah satu teman untuk mempersiapkan unjuk rasa damai sebagai ketidaksetujuan kami akan niat Pastor Terry Jones untuk membakar Al-Quran. Meski gua seorang nasrani tapi bukan berarti gua setuju dengan tindakan Pastor Terry Jones.
Gua sering menemukan, kalau di satu Gereja di luar Gereja Katolik. Kalau Gembala atau pendetanya keturunan Tionghoa maka bisa dipastikan mayoritas jemaatnya adalah keturunan Tionghoa juga dan sebaliknya. Tapi ngga semuanya loh! Kalau jalan ke mal, gua juga akan menemukan hal yang sama. Gua kalo jalan-jalan ke Taman Anggrek Mal, Citra Land, Puri Mall, Pluit Junction Mal atau Centrak Park Mal , serasa ada di Singapura. Dimana-mana keturunan Tionghoa. Berbeda kalau gua ke Pasar Tanah Abang, Blok M, Grand Indonesia Mal, Pondok Indah Mal atau Cilandak Town square. Biasanya penonton bioskop XXI dan Blitzmegaplex adalah keturunan Tionghoa, Bule, Timur tengah atau India, jarang pribumi. Sementara bioskop 21 didominasi oleh penonton kaum pribumi. Tanya kenapa? Gua juga ngga tau.
Sejujurnya gua rindu sosok seperti Almarhum Gusdur yang tidak mempermasalahkan perbedaan. Bukan hanya sekadar opini tapi dibuktikan dengan tindakan nyata. Ah, Siapa gerangan yang akan tampil seperti sosok beliau?
“Eh, Cina! Ngapain loe ikut-ikutan?” tanya salah seorang yang belum gua kenal. Mungkin dia temannya teman gua. Atau anak dari kampus lain sehingga gua ngga mengenalnya demikian juga sebaliknya.
” Asal loe tau aja, gua emang Cina! Tapi gua orang Indonesia karena gua lahir di Indonesia,” ucap gua dengan tegas dan berusaha berbicara dengan nada bersahabat.
Ini bagian yang gua paling suka. Kalo ada individu yang menyerang gua karena gua keturunan Tionghoa maka mulut gua akan komat-kamit dengan sejarah.
“Loe kenal Soe Hok Gie yang ikut mendirikan MAPALA UI? Dia menulis kritik-kritik yang keras dikoran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Dia berjuang untuk Indonesia dengan caranya sendiri. Gie pernah mengatakan patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Dan itu yang gua lakukan sekarang! Jadi jangan mempermasalahkan kehadiran gua disini hanya karena gua keturunan Tionghoa.”
Gua diam. Ah… Kenapa banyak yang melihat fisik gua? Bukan patriotisme dalam diri gua?
Gua melangkah pergi lalu mencari ruang untuk menyendiri. Air mata gua jatuh. Gua menangis bukan karena gua sering dijuluki “si anak cina”.
Empat jam yang lalu.
“Michael… Hubungan kita harus berakhir!” ucap Amelia lewat handphone.
“Kamu ngga sedang bercandakan?”
“Aku serius!”
“Tapi kenapa? Kita sudah dua tahun jadian dan kita sudah saling mengenal antara satu sama lain.”
“Karena kamu cina dan aku pribumi!”
Ah…. Gua benci bagian ini. Keluarga Amelia tidak bisa menerima gua hanya karena gua Cina. Sementara mama dan keluarga gua ngga bisa menerima Amelia hanya karena dia pribumi meski kami memiliki keyakinan yang sama.
Kenapa Tionghoa harus menikah dengan Tionghoa dan pribumi dengan pribumi?
Gua emang keturunan cina 100% karena kakek buyut gua datang langsung dari negeri bambu sono, tapi maaf, gua bukan orang orang Cina karena gua lahir di Indonesia, gede, makan sampai buang hajat di Indonesia. Darah gua merah, semerah darah orang Indonesia dan tulang gua putih, seputih kaum pribumi.
Ngga ada yang salah, baik itu Cina, Jawa, Batak atau suku lainnya. Otak kita semua yang salah. Mentang-mentang ada orang Cina belagu sedikit, langsung dicap “Orang sipit begitu yee”, padahal temen satu ras yang jauh lebih sombong didiemin saja… Mentang-mentang pribumi itu malas “Orang sini kayak gitu yaa”, padahal temennya satu ras yang jauh lebih malas ngga diapa-apa! Ini bukan masalah Chinese, Batak, Ambon, jawa, atau suku… Ini masalah sifat dan perilaku… Malas, sombong, mental kacung, dan sebagainya itu SIFAT, bukan RAS… Orang Cina juga ada yang malas, orang pribumi juga ada yang rajin. Ngga semua orang Cina itu kaya secara materi, ada kok yang menjadi nelayan, petani, buruh bahkan pedagang kaki lima. Ngga percaya? Telusuri aja di Bangka Belitung, Kalimantan seperti singkawang atau di daerah Banten.
Setahu gua, bukti keramik yang banyak ditemukan di Indonesia yakni pada masa Yuan yang berkuasa pada tahun 1279 sampai 1368, bisa saja orang Cina sudah ada di Indonesia sebelum masa Dinasti Yuan. Cheng Ho yang terkenal sebagai pelaut ulung datang ke Jawa dan Sumatra pertama kali, Pada tahun 1405 sampai 1407. Ong Hok Ham, seorang Sejarawan dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa pembagian pola migrasi orang Cina terbagi dua yakni yakni Cina Jawa dan Cina Sebrang. Cina Jawa datang sebagai individu atau kelompok kecil, Pemukiman Cina hanya didaerah Jawa, Cina Sebrang datang dengan berkelompok atau istilah sekarang transmigrasi, mereka menempati wilayah seperti Sumatra, Pontianak Semenanjung Malaya dan lainnya.
Pembedaan lain dari segi bahasa biasanya memakai istilah Cina totok dan Cina Peranakan. Cina peranakan adalah orang cina yang lahir di Jawa, tetapi tidak bisa berbahasa Cina, sedangkan Cina Totok adalah Orang Cina yang baru datang dari Cina dan tidak bisa berbahasa Indonesia.
Setahu gua juga, golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Sumpah Pemuda, dengan dihibahkannya gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong dan ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiaannya itu, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya.
Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata “Tjina” dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia dan bukan Partai Tjina Indonesia.
Pada masa revolusi tahun 1945-an kita menyaksikan perjuangan Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Selain itu ada pula tokoh lain seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya di pakai untuk rapat mempersiapkan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD’45 terdapat 5 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian meninggal dalam status sebagai warganegara asing, padahal ia ikut merancang UUD 1945. Dalam perjuangan fisik sebenarnya banyak pahlawan dari Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak banyak dicatat dan diberitakan. Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Kita semua lahir di indonesia, tumbuh di indonesia, dibesarkan di indonesia, makan dari hasil tanah indonesia, bahasa yang kita pakai bahasa indonesia, tanah yang kita pijak tanah indonesia, kita berwarga negara indonesia… Kenapa harus mempermasalahkan Cina dan pribumi ?
Dari kejauhan gua mendengar sebuah lagu yang mengudara lewat radio.
Siapa tidak mengakui perbedaan
Tidak pernah diajari di skolahan
Semua orang macam2 diciptakan
Cakep atau jelek smua punya perasaan
Ada orang Batak, ada orang Jawa
Ada orang Ambon, ada juga orang Padang
Ada orang Menado, ada orang Madura
Ada orang Papua, nggak disebut jangan marah
* Apakah yang dapat menyatukan kita
salah satunya dengan musik
Dangdut is the music of my country
Reff :
Dangdut is the music of my country, my country, of my country
Dangdut is the music of my country, my country, of my country
Aaaaa, oh my country
Kalo ngaku ngerti tentang persatuan
Mengapa adu domba mudah dilakukan
Kenapa smua mudah hilang kesabaran
Kenapa smua mudah diprovokasikan
Ada kulit hitam, ada kulit putih
Ada rambut panjang, ada juga rambut keriting
Ada mata besar, ada mata sipit
Ada orang kaya ada juga orang miskin
Dalam hati, gua hanya bisa berteriak, “gua adalah orang Indonesia dan Indonesia ada dalam darah gua.”
Dewa Klasik Aleksander
http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/11/1/
“jangan membalas kejahatan dengan kejahatan dan kasihi musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu serta berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu.”
ReplyDeleteKita semua lahir di indonesia, tumbuh di indonesia, dibesarkan di indonesia, makan dari hasil tanah indonesia, bahasa yang kita pakai bahasa indonesia, tanah yang kita pijak tanah indonesia, kita berwarga negara indonesia… Kenapa harus mempermasalahkan Cina dan pribumi ?
yg mempermasalahkan cuma orang orang yg bodoh ...... NICE BLOG .........
kenapa sih di jaman yg udah modern ini masih z da org yang mempermasalahkan ras.......
ReplyDeletetoh di hadapan Tuhan semua manusia sama......
malah aku senang kalau berteman sama orang yang beda ras.........
kan seru...........
salut deh lihat kamu bisa bertahan dlm menghadapi orang di sekitar kamu........
tetap semangat y............
jesus love you........