VIVAnews - Mungkin Anda sudah sering mendengar pengobatan alternatif menggunakan terapi urin atau darah. Tapi, bagaimana dengan terapi pengobatan menggunakan tinja?
Sebuah penelitian yang terbit di Journal of Clinical Gastroenterology mengungkap metode injeksi tinja atau 'transpoosions' untuk menyembuhkan gangguan pencernaan kronis akibat infeksi bakteri clostridium difficile.
"Pengobatan tersebut sangat efisien, dengan tingkat kesembuhan 90 persen untuk penggunaan pertama kali. Hasilnya aman, tanpa efek samping, dan dapat memecahkan masalah dalam hitungan jam," kata Dr Lawrence Brandt dari Montefiore Medical Center, di New York, seperti dimuat Aol Health.
Brandt mengatakan, injeksi tinja bisa dilakukan melalui enema, prosedur pemasukan zat ke dalam kolon melalui anus. Bisa juga melalui pipa lambung, berupa selang yang dimasukkan ke lambung lewat hidung.
Selama ini, pasien terinfeksi bakteri clostridium difficile mengandalkan suntikan antibiotik sebagai pengobatan. Clostridium difficile merupakan jenis bakteri yang sulit dimatikan dibandingkan jenis lain seperti C botulinum, dan C perfringens. Infeksi bakteri Clostridium biasanya ditandai diare.
Karakter Clostridium difficile yang sulit mati membuat racikan antibiotik menjadi mahal. Di Amerika Serikat, antibiotik pembunuh Clostridium difficile mencapai US$60 atau sekitar Rp870 ribu per butir. Sekali pengobatan bisa mencapai US$2.000 hampir Rp19 juta.
Meski mahal, suntikan antibiotik belum tentu mempan membunuh bakteri. Bahkan, tak jarang menyebabkan diare kronis. "Tingkat kegagalan antibiotik 10-20 persen dengan peluang kambuh 60 persen," ujarnya.
Itulah mengapa Brandt begitu bersemangat mengembangkan pengobatan alternatif menggunakan injeksi tinja. Selain lebih murah, metode injeksi tinja tidak memiliki efek suntikan antibiotik yang dapat mengancam kekacauan metabolisme tubuh.
Brandt mengatakan, injeksi tinja bisa didapat melalui donor tinja yang telah melalui uji laboratorium. "Ada beberapa bank donor di Australia, tapi di Amerika Serikat, kami menggunakan tinja segar dari donor," katanya. "Kami memisahkan pendonor yang mengidap AIDS, sifilis, hepatitis, patogen dan parasit lainnya."
Meski klaim keberhasilan pengobatan ini mencapai 90 persen, banyak dokter enggan beralih ke 'antibiotik' alami tersebut. "Sulit membayangkan pengobatan menggunakan kotoran. Saya khawatir, penggunaan tinja sebagai antibiotik berpotensi mencipta masalah baru pada pasien, seperti infeksi silang," kata Dr Saad Habba, seorang ahli penyakit lambung asal New Jersey.
No comments:
Post a Comment