JAKARTA, KOMPAS.com - Pengelola warung tegal (warteg) yang memenuhi ketentuan pajak restoran terpaksa memutar otak menyiapkan strategi menghadapi pungutan pajak 10 persen oleh Pemrov DKI mulai tahun depan.
Seorang pengelola warteg di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Yuli (54) memilih membebankan pajak kepada konsumen. Dia memilih menaikkan sedikit harga atau mengurangi porsi makanan.
"Ya paling nasi-nya disedikitin, atau sayurnya," katanya, Jumat (3/11/2010). Sedikit berbeda dengan Yuli, pengelola warteg di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Etik (42) kemungkinan akan menetapkan harga untuk minuman yang semula gratis. Seperti halnya teh tawar yang semula gratis, akan diberi harga.
"Bisa Rp 500, bisa Rp 1000. Sebenarnya kalau sekarang di sini minuman yang enggak pakai gula itu gratis, tapi kalau ada pajak, mungkin bayar," katanya.
Demikian juga dengan Samsu (28). Meskipun merasa berat menaikkan harga dagangannya, dia akan turut menaikkan harga jika warteg-warteg lain juga menaikkah harga akibat belakunya pajak restoran tersebut.
"Kalau yang lain pada naik ya saya ikut. Saya umum-umum saja," ungkap pengelola warteg di kawasan Buncit, Jakarta Selatan itu. Ketiga pengelola warteg tersebut juga mengaku keberatan jika pemrov memungut pajak 10 persen dari usaha mereka.
Seperti diberitakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai tahun depan diberlakukan pajak 10 persen untuk seluruh jenis rumah makan dengan omzet Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167.000 per hari termasuk warteg, rumah makan Padang, warung bakso, atau warung bubur.
No comments:
Post a Comment