Siapa bilang pengayuh becak tak bisa melahirkan seorang dokter? Buktinya Suyatno, seorang pengayuh becak di Yogyakarta, berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus dokter dari UGM. Perjuangannya membuktikan tidak ada kerja keras yang sia-sia.
"Anak saya, Agung Bhaktiyar masuk Fakultas Kedokteran UGM tahun 2005 lulus dilantik jadi dokter pada pertengahan tahun 2011," kata Suyatno saat tampil di hadapan ribuan orangtua mahasiswa baru UGM di Gedung Graha Sabha Pramana (GSP), Bulaksumur, Yogyakarta, Kamis (8/9/2011).
Pria 63 tahun itu layak berbangga sang putera meraih gelar sarjana kedokteran dari salah satu universitas ternama, tanpa harus banyak mengeluarkan biaya. Maklum, anaknya mendapat beasiswa saat kuliah di Fakultas Kedokteran.
Menurut Suyatno, Agung adalah anak bungsu dari empat saudara yang satu-satunya kuliah. Sedang tiga kakaknya, setelah lulus sekolah menengah langsung bekerja. Agung sebelumnya merupakan lulusan SMA 6 Yogyakarta.
Setelah dilantik menjadi dokter, Agung menjadi dokter magang di rumah sakit di Wates Kulonprogo. "Dia selama sekolah baik saat SMA maupun kuliah juga tidak macam-macam dan tidak banyak meminta kepada orangtua. Karena tahu kalau orangtuanya tidak punya uang," lanjut Suyatno.
Suyatno sehari-harinya bekerja menjadi pengayuh becak sejak tahun 1975. Dia biasanya mangkal di sekitar Hotel Santika di Jalan Sudirman Yogyakarta.
Bersama istri dan anaknya, Suyatno tinggal di kawasan Ledok Kali Code di Kampung Terban, Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta. Saniyem, istrinya bekerja sebagai pengumpul barang rongsokan. Dari menarik becak, dia mendapat penghasilan sekitar Rp 20-30 ribu per hari.
"Ini anugerah bagi keluarga kami dan kami sekeluarga bangga. Alhamdulilah selama dia kuliah dapat beasiswa terus," ucap Suyatno yang masih akan terus bertahan di bawah terik matahari Yogya dengan becaknya.
Menyumbangkan seorang dokter pada Ibu Pertiwi mungkin sebelumnya tak pernah dibayangkan Suyatno. Namun dengan kemauan kuat anak dan dukungan keluarga membuktikan segala hal bisa terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa.
Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM
Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior
Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51.
NANI MASHITA
Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman.
Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas meja bertaplak warna merah. Satu-satunya cahaya di ruangan itu berasal dari jendela kecil yang terbuka lebar tadi.
Dari balik tirai, tuan rumah Agung Bakhtiyar muncul dengan mengenakan baju batik warna terang dipadu celana kain hitam. Memakai kacamata, wajahnya terlihat bersih terawat dengan janggut tipis di dagu. Tidak ada yang mengira apabila dia anak tukang becak yang biasa mangkal di depan Hotel Santika Jogja.
Awalnya, Agung terlihat kikuk saat menceritakan keberhasilannya menjadi dokter. Tangannya terlihat menggenggam buku rekening BNI. ’’Waduh… mau cerita apa ya,” katanya malu-malu, Jumat (8/7).
Agung resmi bergelar dokter setelah menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran UGM selama lima tahun tujuh bulan. Sebelum diwisuda kemarin, dia menjalani profesi dokter muda di Klaten serta menempuh pendidikan dokter dengan dengan nilai IPK (indeks prestasi kumulatif) 3,51. Saat diwisuda, dia didampingi kedua orang tua dan salah seorang kakaknya. Usai wisuda, Agung dan keluarga langsung pulang. Tidak ada acara perayaan untuk menandai keberhasilan pemuda 24 tahun itu menyelesaikan pendidikan dokternya.
’’Ibu tidak mau ada perayaan untuk syukuran kuliah. Rencananya ingin mengadakan aqiqah saya dan dua kakak laki-laki saya, kalau ada uang lebih,” tuturnya.
Agung mengaku sebenarnya dia tidak ingin melanjutkan kuliah karena melihat kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Ayahnya, Suyatno, hanya seorang tukang becak yang penghasilannya tidak tetap dan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sedangkan ibunya, Saniya, saat itu (2005) berjualan botol bekas.
Meski begitu, orang tua Agung menginginkan bungsu dari empat bersaudara itu melanjutkan kuliah hingga lulus, tidak seperti tiga kakaknya yang hanya lulus SMA. ’’Ibu saya sangat kepingin saya kuliah,” katanya
Awalnya, Agung menjajal ikut seleksi ujian masuk di Fakultas Pertanian UGM namun gagal. Meski begitu, alumnus SMAN 6 Jogjakarta itu tidak putus asa. Dia lalu ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Kali ini dia memilih Fakultas Kedokteran sebagai pilihan pertama dan ilmu hama Fakultas Pertanian di pilihan kedua.
’’Saya tidak tahu kenapa memilih kedokteran saat itu. Mungkin karena saya gampang tersentuh kalau melihat pasien,” katanya.
Saat berbincang, gaya bertutur lelaki kelahiran Jogja 30 Juni 1987 itu terkesan slengekan meski beberapa kali tatapannya menerawang jauh. Perbincangan sempat terhenti saat ibu Agung datang membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Tidak lama kemudian, dia pergi meninggalkan rumah. ’’Ibu kembali ke Pasar Terban, jualan rongsokan,” kata Agung.
Tak disangka, lanjut cerita Agung, dia diterima di Fakultas Kedokteran UGM. Dia sempat kebingungan mengetahui diterima di fakultas bergengsi itu. Dia pun takut memberitahukan kabar menggembirakan itu kepada orang tuanya. Salah satu yang menjadi bebannya saat itu adalah biaya pendidikan kedokteran yang sangat besar.
Sebelumnya, Agung juga diterima di D3 Komputer dan Sistem Informasi (Komsi) UGM. Mau tidak mau akhirnya dia memberi tahu orang tuanya sekaligus minta pertimbangan untuk memilih fakultas yang akan dimasuki. Tapi, orang tua menyerahkan sepenuhnya keputusan itu kepada Agung. Agung pun akhirnya memilih kedokteran setelah mendapat masukan teman-temannya.
Untuk menunjang kuliah, Agung sempat ’’nodong’’ orang tuanya untuk dibelikan komputer dan ternyata dikabulkan. ’’Saya sungguh terharu dengan orang tua saya yang berkomitmen mendukung saya kuliah,” katanya.
Hambatan terus menghadang Agung ketika menjalani perkuliahan. Yang paling tampak mengenai gaya hidup mahasiswa Fakultas Kedokteran yang kebanyakan dari kalangan the have dan glamor. Mulai gaya berpakaian, kendaraan, hingga peralatan pendukung perkuliahan lainnya. Orang tuanya sempat khawatir dengan kondisi psikologis Agung menghadapi teman-temannya yang serba berkecukupan. ’’Tapi saya meyakinkan orang tua untuk tidak perlu khawatir,” tuturnya.
Soal pelajaran di kampus, setahun pertama Agung sempat tidak betah gara-gara dia lebih senang ilmu eksak seperti fisika, matematika, dan kimia. Sedangkan di kedokteran, nilai-nilai humanisme dikedepankan. Tetapi, perubahan terjadi ketika dia sudah mulai bersentuhan dengan pasien di rumah sakit. ’’Dari sana tumbuh kecintaan saya untuk kuliah di kedokteran hingga lulus,” tuturnya.
Alumnus SMPN 5 Jogja itu berupaya untuk bisa menekan ’’biaya kuliah’’ hingga seminim mungkin. Beberapa cara yang dilakukan dengan memfoto-copy materi kuliah, men-download referensi di internet atau meminjam buku-buku ke senior. Dalam pergaulan Agung juga tidak minder bila temannya mengajak dia untuk nongkrong di tempat-tempat gaul.
’’Teman-teman saya baik-baik semua. Mereka tahu dengan kondisi saya,’’ ujar Agung yang mulai mendapatkan beasiswa dari UGM pada tahun ketiga kuliahnya.
Salah satu yang memudahkan dia berbaur dengan teman-teman kampus adalah sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang membagi mahasiswa dalam kelompok-kelompok belajar. Dari sana, teman-temannya mengetahui bahwa Agung berasal dari kalangan kurang mampu. Mereka juga tidak memandang sebelah mata atas kondisi Agung itu. ’’Mereka paham dan bahkan saya sering meminjam laptop teman-teman ke rumah,” katanya terkekeh.
Selama kuliah, Agung mengaku sempat ikut membantu ibunya berjualan barang bekas di Pasar Terban. Tetapi, seiring dengan makin padatnya jadwal kuliah dan praktik, maka kegiatan di pasar itu lama-kelamaan tak bisa dia penuhi.
Kini, setelah diwisuda menjadi dokter, dia mengaku lega sekaligus tertantang untuk bisa mengentaskan keluarganya dari kemiskinan. ’’Saya harus bisa membantu ibu agar usaha jualan barang rongsok itu berkembang dan bisa memperbaiki ekonomi keluarga,” katanya.
Sudah dua setengah bulan ini Agung bekerja di klinik sebuah perusahaan di wilayah Tangerang. Kemarin dia harus pulang ke Jogja untuk mengikuti upacara pelantikannya sebagai dokter, sekaligus mengurus KTP-nya yang hilang saat naik angkot.
Ditanya soal rencana masa depan, Agung mengaku ingin meneruskan pendidikan dokter spesialis. Namun, dia sadar dengan kondisi ekonomi kedua orang tuanya sehingga tidak terlalu berharap bisa meneruskan pendidikan dalam waktu dekat.
’’Mungkin saya menabung dulu karena jadi dokter spesialis kan butuh dana ratusan juta,” pungkasnya
No comments:
Post a Comment